unsur intrinsik cerpen seorang pemimpin karya widya suwarna
B. Indonesia
Tiarmi
Pertanyaan
unsur intrinsik cerpen seorang pemimpin karya widya suwarna
2 Jawaban
-
1. Jawaban ullyana
Seorang pemimpin
Oleh: Widya Suwarna
Hujan turun dengan derasnya. Kadang-kadang guruh menggelegar didahului kilat yang menerangi langit sekejap. Jalan di depan rumah penuh dengan air. Di dalam rumah air pun masuk hingga ketinggian lima sentimeter. Ibu sibuk memindahkan barang-barang yang mungkin akan basah terkena banjir. Hari sudah jam delapan malam. Ketika air baru mulai masuk, Titin dan Indra sibuk membantu menyeroki air. Sekarang, tampaknya tak ada gunanya menyeroki air, karena jalan di depan rumah juga sudah penuh air.
“Sudahlah, berhenti saja dulu. Nanti kalau air mulai surut kita mulai bekerja lagi!” kata Ayah.
Ibu, Ayah, Titin, dan Indra duduk di kursi tamu dengan kaki yang dinaikan.
“Payah. Hujannya lama amat, sih!” gerutu Indra.
“Ah, sebentar lagi juga berhenti. Kalau sudah mengantuk, tidurlah!” kata ayah.
“Mana bisa tidur? Dasar, hujan kurang ajar!” Indra mengomel.
“Eh, jangan mengomel. Mestinya kan bersyukur ada hujan, ya, Bu!” kata Titin. “Udara jadi sejuk!”
“Untuk apa bersyukur. Orang repot, kok, karena kebanjiran. Nanti kalau hujan sudah berhenti kan harus kerja keras!” Indra membela diri.
“Selamat malam….” Terdengar suara di luar. Sesosok tubuh yang dibalut jas hujan coklat, memakai topi dan bersepatu boot, menuju ambang pintu.
“Selamat malam. Oh…. Pak RT. Mari masuk, Pak!” sambut Ayah.
“Silakan duduk Pak RT!” kata Ibu.
“Terima kasih. Sebentar saja, kok. Wah kebanjiran juga, ya? Sudah makan belum? Ada sesuatu yang bisa saya bantu?” tanya Pak RT dengan ramah.
“Oh, terima kasih banyak, Pak! Baru saja kami selesai makan, hujan turun. Sekarang tinggal menunggu hujan berhenti dan membersihkan rumah kalau air sudah surut!” jawab ayah.
“Titin, Indra, sudah selesai membuat PR?” tanya Pak RT.
“Sudah, Pak!” jawab Titin dan Indra serentak.
“Syukurlah. Nah, Bapak permisi dulu. Mau keliling lihat yang lain. Siapa tahu ada yang memerlukan bantuan, seperti misalnya Bu Cicih. Rumahnya rendah sekali sampai air naik sebatas tempat tidur. Anaknya yang sedang sakit sekarang ada di rumah Bapak!” kata pak RT.
“Mari, Pak. Selamat malam. Terima kasih!” kata ayah dan ibu, sementara Pak RT berjalan lagi, menembus malam sementara hujan masih terus turun. Walaupun sudah tak begitu deras. Indra menggeleng-geleng.
“Kenapa, In? Kok, geleng-geleng?” tanya ibu.
“Kok, Pak RT itu baik, ya, Bu! Hujan-hujan begini, udara dingin, tapi Pak RT mau bersusah payah keliling kampung menengok warganya yang kebanjiran!” kata Indra. Ayah dan Ibu bertukar pandang dan tersenyum.
“Begitulah sifat seorang pemimpin yang baik. Ia mau mengorbankan waktu dan tenaga dan menempuh jalan yang sulit untuk kepentingan anak buahnya. Ia siap menolong, rumahnya pun disediakan bagi yang memerlukan, seperti anak Bu Cicih yang sakit itu. Sifatnya juga menyenangkan, ramah tamah. Pak RT juga adil, semua rumah yang kena banjir pasti ditengoknya. Tidak peduli orang berada ataupun orang yang kurang mampu!” Ayah menjelaskan.
“Wah, Indra juga calon pemimpin nih, 20 tahun lagi. Cuma suka ngomel!” kata Titin sambil memandang Indra dan tersenyum.
“Ah, jangan ngejek. Kan aku sekarang tidak mengomel lagi!” Indra membela diri. Apa yang dilakukan Pak RT sungguh berkesan di hati Indra.
Tak lama kemudian hujan berhenti. Ayah, Ibu dan kedua anak itu sibuk bekerja. Tetangga-tetangga juga sibuk. Srok,srok,srok, terdengar bunyi air yang diserokan ke luar rumah -
2. Jawaban jasondinata90
Seorang pemimpin
Oleh: Widya Suwarna
Hujan turun dengan derasnya. Kadang-kadang guruh menggelegar didahului kilat yang menerangi langit sekejap. Jalan di depan rumah penuh dengan air. Di dalam rumah air pun masuk hingga ketinggian lima sentimeter. Ibu sibuk memindahkan barang-barang yang mungkin akan basah terkena banjir. Hari sudah jam delapan malam. Ketika air baru mulai masuk, Titin dan Indra sibuk membantu menyeroki air. Sekarang, tampaknya tak ada gunanya menyeroki air, karena jalan di depan rumah juga sudah penuh air.
“Sudahlah, berhenti saja dulu. Nanti kalau air mulai surut kita mulai bekerja lagi!” kata Ayah.
Ibu, Ayah, Titin, dan Indra duduk di kursi tamu dengan kaki yang dinaikan.
“Payah. Hujannya lama amat, sih!” gerutu Indra.
“Ah, sebentar lagi juga berhenti. Kalau sudah mengantuk, tidurlah!” kata ayah.
“Mana bisa tidur? Dasar, hujan kurang ajar!” Indra mengomel.
“Eh, jangan mengomel. Mestinya kan bersyukur ada hujan, ya, Bu!” kata Titin. “Udara jadi sejuk!”
“Untuk apa bersyukur. Orang repot, kok, karena kebanjiran. Nanti kalau hujan sudah berhenti kan harus kerja keras!” Indra membela diri.
“Selamat malam….” Terdengar suara di luar. Sesosok tubuh yang dibalut jas hujan coklat, memakai topi dan bersepatu boot, menuju ambang pintu.
“Selamat malam. Oh…. Pak RT. Mari masuk, Pak!” sambut Ayah.
“Silakan duduk Pak RT!” kata Ibu.
“Terima kasih. Sebentar saja, kok. Wah kebanjiran juga, ya? Sudah makan belum? Ada sesuatu yang bisa saya bantu?” tanya Pak RT dengan ramah.
“Oh, terima kasih banyak, Pak! Baru saja kami selesai makan, hujan turun. Sekarang tinggal menunggu hujan berhenti dan membersihkan rumah kalau air sudah surut!” jawab ayah.
“Titin, Indra, sudah selesai membuat PR?” tanya Pak RT.
“Sudah, Pak!” jawab Titin dan Indra serentak.
“Syukurlah. Nah, Bapak permisi dulu. Mau keliling lihat yang lain. Siapa tahu ada yang memerlukan bantuan, seperti misalnya Bu Cicih. Rumahnya rendah sekali sampai air naik sebatas tempat tidur. Anaknya yang sedang sakit sekarang ada di rumah Bapak!” kata pak RT.
“Mari, Pak. Selamat malam. Terima kasih!” kata ayah dan ibu, sementara Pak RT berjalan lagi, menembus malam sementara hujan masih terus turun. Walaupun sudah tak begitu deras. Indra menggeleng-geleng.
“Kenapa, In? Kok, geleng-geleng?” tanya ibu.
“Kok, Pak RT itu baik, ya, Bu! Hujan-hujan begini, udara dingin, tapi Pak RT mau bersusah payah keliling kampung menengok warganya yang kebanjiran!” kata Indra. Ayah dan Ibu bertukar pandang dan tersenyum.
“Begitulah sifat seorang pemimpin yang baik. Ia mau mengorbankan waktu dan tenaga dan menempuh jalan yang sulit untuk kepentingan anak buahnya. Ia siap menolong, rumahnya pun disediakan bagi yang memerlukan, seperti anak Bu Cicih yang sakit itu. Sifatnya juga menyenangkan, ramah tamah. Pak RT juga adil, semua rumah yang kena banjir pasti ditengoknya. Tidak peduli orang berada ataupun orang yang kurang mampu!” Ayah menjelaskan.
“Wah, Indra juga calon pemimpin nih, 20 tahun lagi. Cuma suka ngomel!” kata Titin sambil memandang Indra dan tersenyum.
“Ah, jangan ngejek. Kan aku sekarang tidak mengomel lagi!” Indra membela diri. Apa yang dilakukan Pak RT sungguh berkesan di hati Indra.
Tak lama kemudian hujan berhenti. Ayah, Ibu dan kedua anak itu sibuk bekerja. Tetangga-tetangga juga sibuk. Srok,srok,srok, terdengar bunyi air yang diserokan ke luar rumah