Mengapa orang yang tinggal di daerah dataran tinggi dalam membuat rumah memilih atap rumah berbahan seng bukan genteng
Pertanyaan
1 Jawaban
-
1. Jawaban veloveis44
RUMAH BERATAP SENG. SEBUAH UPAYA PEMAKNAAN
Pada awal bulan Juli kemarin saya ke Manado untuk mengikuti simposium ISBI yang diadakan di sana. Ketika sudah tiba di Manado saya melihat bahwa hampir semua rumah penduduk di sana beratap seng. Hampir tidak ada yang beratap genteng yang terbuat dari tanah liat. Paling-paling yang tampak ialah atap yang terbuat dari seng yang dicetak berbentuk genteng yang berwarna warni (merah tua, biru laut, hijau tua, coklat, dll). Seakan-akan ada sebuah kesepakatan sosial bahwa atap rumah harus dari seng atau bahan lain. Yang jelas, bukan dari genteng tanah liat. Genteng tanah liat tidak menjadi pilihan utama. Bahkan sedapat mungkin tidak dipakai, untuk tidak sampai dikatakan dihindari.
Hal itu kurang lebih sama dengan apa yang bisa kita lihat di Manggarai tempat kelahiran saya (dan mungkin juga sebagian besar di daratan Flores saya kira). Sebagaimana halnya di Manado hampir semua rumah di Manggarai beratap seng (kecuali dengan beberapa kekecualian di Reo dan Borong dan di beberapa tempat yang lain). Dulu rumah-rumah asli di Manggarai beratap alang-alang atau ijuk atau sirap, atau bahkan bambu yang dibelah. Itulah yang bisa kita lihat dalam pelbagai kampung tradisional Managgarai, sebagaimana masih tetap dilestarikan di sebuah kampung asli yang bernama Waerebo.
Setelah melihat kenyataan itu, seorang teman (dari Jawa) kemarin di Manado bertanya kepada orang-orang Manado yang kebetulan sedang berjalan bersama kami: mengapa orang tidak mau memakai genteng? Bukankah atap genteng itu lebih murah dan lebih sejuk karena terbuat dari tanah liat? Pertanyaan yang benar-benar berlatar belakang pemikiran pragmatis-ekonomis. Tetapi hidup ini ternyata membutuhkan tidak hanya visi pragmatis dan ekonomis belaka. Ada visi lain yang harus ikut dipikirkan dan dipertimbangkan dengan baik dan seksama.
Menarik sekali ketika kami mendengar jawaban yang ia berikan sbb: genteng itu terbuat dari tanah liat. Kalau kita tinggal dalam rumah yang beratap genteng berarti kita berada di bawah tanah atau di dalam tanah. Itu adalah sebuah pemali. Sebab hal tinggal di bawah atau di dalam tanah itu tidak lain berarti mati. Tinggal dalam tanah atau di bawah tanah itu hanya untuk orang mati saja; itu sama artinya dengan dikuburkan. Oleh karena itu, selama orang masih hidup hendaknya ia tidak tinggal dalam rumah yang beratapkan tanah. Atap tanah itu hanya untuk orang mati. Hidup beratapkan tanah sudah sama dengan kematian. Itulah alasan mengapa orang tidak memakai genteng. Sebab tanah itu adalah untuk orang mati saja.
Lalu beberapa orang teman yang kebetulan pernah juga ke Manggarai (Flores pada umumnya) dan tahu bahwa saya berasal dari Manggarai, bertanya kepada saya, apakah ada alasan yang kurang lebih sama seperti itu bagi kenyataan bahwa rumah-rumah asli orang Manggarai tidak beratapkan bahan yang terbuat dari tanah. Terus terang saja, saya sebagai orang Manggarai, tidak bisa langsung memberi sebuah jawaban spontan terhadap pertanyaan itu. Boleh jadi juga ada jalan pikiran seperti itu, tetapi untuk membuktikannya, harus terlebih dahulu diadakan sebuah penelitian. Tetapi yang jelas ialah bahwa ketika mendengar jawaban itu saya langsung teringat akan syair sebuah lagu rakyat di Manggarai yang usianya sudah cukup tua. Saya ingat lagu ini sudah saya dengar sejak saya masih sangat kecil. Mungkin sudah diciptakan pada tahun 60-an atau bahkan mungkin juga sebelumnya. Beberapa penggal syair lagu ini, menurut saya sepertinya menyimpan argumen filosofis yang kurang lebih mirip dengan argumen yang diajukan oleh orang Manado di atas tadi.
Lagu yang saya maksudkan ialah lagu yang berjudul Ende go (Oh Ibu). Sebagian syairnya berbunyi sbb: tatap ali tana daku mata. Tadu ali watu mata daku. Sejauh yang saya ingat dan hafal dari masa kecil, selengkapnya teks lagu yang terdiri atas empat bait itu berbunyi sbb:
1). Ende go, Ende go ende go, ende go, ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, tatap ali tana daku mata, ende go, ho’o aku caig ende go.
2). Ende go, ende go, ende go, ende go, ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, tadu ali watu mata daku, ende go, ho’o aku caig ende go.
3). Ende go, ende go endo go, ende go ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, do’ong ali golo mata porong, ende go, ho’o aku caig ende go.
4). Ende go, ende go ende go, ende go ho’o aku caig ende go. Lawa, lawa ende lawa, panggu ali watu mata daku, ende go, ho’o aku caig ende go.
(Ada juga versi lain dari lagu ini, yang mengganti subjeknya dari Ende dengan Ema; sedangkan kata-kata lain dalam syair lagu itu tetap sama saja). Ungkapan syair lagu itu (dari bait satu sampai bait empat) mencoba melukiskan keadaan perpisahan karena kematian di mana orang sudah tidak bisa lagi saling bertemu dan saling memandang satu sama lain karena ada penghalang besar di antara keduanya, tanah dan batu. Memang ketika jenazah orang mati dikuburkan maka liang lahatnya akan ditimbun dengan tanah dan tumpukan bebatuan.